Senin, 28 Mei 2012

Kabar-kabar

Kabar-kabar
Project solo exhibition 2011 “MENJAWAB KEGELISAHAN” GEDE OKA ASTAWA Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta. 12 Desember 2011





MEDIA ONLAINE
http://jogjanews.com/i-gede-oka-astawa-segera-pamerkan-menjawab-kegelisahan
http://jogjatogo.com/id/entang-wiharsa-akan-buka-pameran-tunggal-%E2%80%9Cmenjawab-kegelisahan%E2%80%9D-gede-oka-astawa/
http://www.tembi.net/id/news/beritabudaya/melalui-pameran-tungal,-oka-menjawab-kegelisahan-2022.html
http://jogjanews.com/oka-astawa-percaya-diri-mendekati-seniman-besar-dan-kolektor
http://jogjanews.com/ketut-sutiasa-sekuat-saya-nanti-seperti-apa-tetap-mendukung-oka


http://www.youtube.com/watch?v=9TYT2nFwAMU&noredirect=1

Media Cetak


-       “Mahasiswa Seni Rupa Nekat Gelar Pameran Tungga” Koran Tempo, Kamis 15 Desember  2011
-        I Gede Oka Astawa, Wujudkan Kegelisahan Dalam Dokumentasi, Radar Jogja, Rabu 14 Desember 2011
-       “Menjawab K egelisahan” Tribun Jogja, Senin 12 Desember 2011
-       “ Dua ‘Pabrik’ Seni Rupa Indonesia” Kompas, Minggu 30 Oktober 2011




Jumat, 18 November 2011

on progres "Menjawab Kegelisahan"



GAGASAN KURATORIAL PAMERAN
“MENJAWAB KEGELISAHAN” I GEDE OKA ASTAWA
Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta, 12 Desember 2011

Gagasan dari pameran ini adalah rekaman potret perjalanan dan proses kreatif yang dilakukan oleh Gede Oka Astawa (Oka), dalam rentang perjalanan berkeseniannya. Meski masih terbilang muda, namun proses kreatif yang dilakukan olehnya terbilang unik dan mempunyai  progresitas  kekaryaan yang menarik. Mulai dari tema-tema karya yang diusung, visualitas karya, hingga kerja teknis  yang eksploratif. Maka, ‘catatan proses kreatif’ menjadi konsep dasar yang dipilih sebagai bingkai kuratorial pameran tunggal ini. Gagasan ini dipilih untuk menunjukkan kepada publik sebuah proses dialektika penciptaan yang segar dengan kerja-kerja eksperimental seni yang terus tanpa putus. Lebih dari itu, ia dikenal sebagai perupa muda yang kritis. Ia terus berusaha untuk membangun kesadaran kritis atas proses kreatif yang dilakukannya sendiri, sebuah upaya yang ‘jarang’ dilakukan bagi seniman muda yang kebanyakan dituntut kerja praktek sebanyak-banyaknya oleh lingkungannya.
Dengan konsep ini, diharapkan publik mampu memahami, mencatatat dan melakukan pembacaan atas beragam faktor yang turut mempengaruhi laku kesenian Gede Oka Astawa. Mulai dari latar belakang sosial yang menuntunnya meyakini kesenian sebagai jalan hidup, berikut latar belakang kultural yang mempengaruhi gagasan keseniannya. Kedua, dunia akademis yang memberikan kontribusi penting dalam membangun pemahaman dan intelektualitasnya akan seni  rupa dengan segenap problematikanya. Ketiga, fakta-fakta sosial yang dijumpai selama di Bali dan Yogyakarta, berikut tegangan dan gesekan yang seringkali di terimanya dari kawan, perupa senior, dan lingkungan keseniannya. Beragam faktor ini menjadi penting untuk dipresentasikan kepada publik, sebab senyatanya faktor-faktor ini memberikan pengaruh yang besar bagi Oka untuk membangun model dan strategi berkeseniannya.
Konsep pameran ini akan menunjukkan bagaimana perupa muda ini melakukan identifikasi diri dalam memahami segudang pertanyaan tentang apa itu ‘seni dan kesenian’, di mana dengannya ia akan meretas pemahaman akan ‘identitas kesenimanan’. Tajuk pameran “Menjawab Kegelisahan” yang diusung, menjadi brand  yang dipilih untuk mengantarkan kita dan publik melihat dan mencermati bagaimana perupa muda ini mengukur dan menilai setiap proses kreatif yang yang dilakukannya. Ibarat sebuah refleksi, tajuk ini menjadi satu bentuk kritik diri atas prinsip, idealisme serta praktek keseniannya sendiri. Representasi dari sebuah proses kreatif yang masih terus berjalan, sebagai satu “jawaban kegelisahan“ yang menjadi kunci dari ribuan pertanyaan yang akan terus bermunculan.
-Hendra Himawan, kurator-

Progres Grafity diberbagai titik kota jogya


Proses pembacaan kuratorial oleh Hendra Himawan


    
Proses pembuatan karya di Studio


BELAJAR KEPADA TOLSTORY
[Sebuah Catatan untuk I Gede Oka Astawa]


Intensi kreatif dan fungsi ekspresif seni
 melibatkan cara-cara di mana seniman berharap akan
memengaruhi penikmarnya.
--Marcia Muelder Eaton , 2010



Sejumlah lukisan dan instalasi karya I Gede Oka Astawa gempita oleh beragam sapuan, gosokan, cipratan, torehan, dan segala unsur visual lainnya. Latar penciptaan, motivasi, muatan, dan pesan yang ingin disampaikannya pun tak kalah gempitanya. Pendeknya, yang tersurat dan yang tersirat betapa ramai, berlimpah, hingar-bingar, saling ke depan, atau saling menenggelamkan. I Gede Oka Astawa adalah laki-laki muda yang sedang menempuh studi formal kesenirupaan. Setamat sekolah dari SMKN 1 Sukawati, Gianyar, Bali, tahun 2009 ia menjadi mahasiswa di ISI Yogyakarta. Sampai hari ini, statusnya tentu saja masih mahasiswa. Barangkali, karena muda usia itulah, maka cadangan bakat, energi, keinginan, bahkan mimpinya sunggguh amat berlimpah. Tak mengherankan kalau hal-hal tersebut dengan mudah bisa terbaca pada karyanya.
Tampaknya, bagi I Gede Oka Astawa segala persoalan yang berseliweran dalam pikiran dan perasaannya akan dirasakan tuntas jika telah disajikannya menjadi karya seni. Perkara bagaimana cara ia menyajikannya, bagaimana bahasa dipakainya, dan bagaimana niatan bisa dikomunikasikannya, itu adalah hal-hal yang menempati posisi berikutnya. Tentu saja, Oka Astawa belum sampai pada karakter ekspresi sebagaimana yang sering didengungkan Tolstory bahwa pengarang yang marah atau sedih, jika berhasil, maka sesunguhnya akan membuat pembacanya marah atau sedih.
Lihat misalnya lukisan Oka Astawa yang bertajuk Terbelenggu (akrilik pada kanvas, 180 x 150 cm, 2011). Lukisan ini dibangun oleh sesosok laki-laki telanjang dada dalam pose duduk termenung dengan kedua tangannya memegang kepala. Di latar belakang, sapuan warna kecoklatan beradu kuat dengan cipratan dan lelehan warna coklat tua dan putih. Ada pula garis-garis merah geometris bergerak ke berbagai arah. Sesosok laki-laki telanjang dada itu seolah lenyap, tenggelam oleh gemuruh warna. Sudah begitu, Oka Astawa masih menganggap perlu menghadirkan teks verbal: “Lepaskan beban dan segeralah bangkit”.  Sesungguhnya, pose sesosok lelaki itu saja sudah cukup memadai untuk mengemban makna tajuk terbelengu itu. Tetapi, Oka Astawa belum melakukan filterisasi terhadap beragam kemungkinan pilihan bahasa. Ia masih mengumbar segala kemungkinan bahasa untuk hadir dalam selembar kanvas. Konsekuensi yang segera dihadapi Oka Astawa adalah pembacaan dari para penikmat/apresian/pemirsa/penonton karyanya. Kita, pada posisi ini, seperti diberondong oleh sejumlah kata yang berhamburan datang dari pikiran dan perasaaan Oka Astawa. Kita tak diberi kesempatan untuk menyimak kata demi kata. Pada akhirnya kita menjadi penikmat/apresian/pemirsa, atau tepatnya penonton yang kelelahan. Tergolek lelah dengan mata yang digelapkan. Horizon harapan kita tidak punya peluang untuk mengembara ke wilayah niatan yang dibangun Oka Astawa. Kesedihan, kemarahan, kegundahan dan segala laku emosi Oka Astawa pada akhirnya hanya dirasakan oleh Oka Astawa sendiri.
Sampai di sini, jika kita percaya bahwa seni adalah bagian dari ekspresi, maka apa yang telah dilakukan Oka Astawa sungguh tidak salah. Oka Astawa telah sampai pada niatan untuk mengekespresikan perasaannya melalui karya seni. Hanya saja, ketika karya seni ini dikomunikasikan --  terlebih melalui format pameran, apalagi pameran tunggal --  maka fungsi berikutnya yang melekat pada karya seni ini masih berjarak dengan kita.
Jelaslah persoalan yang kini dihadapi Oka Astawa adalah persoalan bahasa. Saya percaya, sejalan dengan cara berpikir dan cara berekspresi Oka Astawa, persolan bahasa itu lambat-laun akan teratasi. Tanda-tanda ke arah itu sudah tampak pada karyanya Hijau di  Jaman Sekarang (akrilik pada kanvas, 120 x 160 cm, 2011). Sepasang sepatu boot hadir paling depan dengan latar pepohona yang ditebang. Yang segera bekerja di benak kita adalah makna konotatif dari sepatu boot itu. Sepatu boot itu terhubung dengan kekerasan, penindasan, pemaksaan, atau bahkan kekuasaan. Makna konotatif ini makin kuta manakala cara menghadirkannya dengan pengutamaan superior. Sepatu itu hadir paling depan, berukuran besar dengan sudut lihat tampak depan-bawah. Sepatu itu teror bagi mata kita.  Lalu, pohon-pohon yang terpenggal itu terhubung dengan eksploitasi alam, perampasan hutan, bencana yang sedang dibangun, atau hal-hal tragis lainnya. Realitas bahasa pilihan Oka Astawa dalam hal ini adalah realitas tersaring dengan mengendapkan emosi yang berlebihan. Oka masih menyelipkan serupa pesan melalui sebatang tunas hijau di sisi kiri kanvas. Sang tunas itu sedikit terinjak oleh sepatu boot. Tidak patah, tetapi melengkung. Akankah tunas itu hidup? Atau jangan-jangan mati? Taka ada jawaban atas bangunan bahasa pilihan Oka Astawa ini. Ia (Oka Astawa) tampaknya menyisakan ending bagi pembaca. Ending yang senganja dibuatnya menggantung. Karya ini, jelas mengisakan permainan bagi horizon harapan kita. Pada posisi inilah, karya ini jauh lebih berhasil ketimbang karya Terbelenggu.
Jika kita mau menengok teori ekspresi Tolstory yang memerlihatkan bahwa respon emosional kita terhadap karya seni merupakan salah satu hal yang menjadikan karya seni berarti bagi kita. Karya seni yang kuat, tegas Tolstory, mustinya sanggup mencuri hati kita. Jika berpijak pada teori Tolstory ini, maka sudah semestinya Oka Astawa memberi peluang bagi penikmat karyanya untuk berkesempatan memberi respon. Oka Astawa harus rela berbagi ruang antara kebutuhan dirinya dalam hal mengekpresikan dan kebutuhan untuk mentranmisikan kepada penikmat karyanya. Begitulah, belajar kepada Tolstory.[]
Bali, Nopember 2011.
Hardiman






watak + keberanian = kebenaran + keindahan

Oleh : Hendra Himawan*

Jangan hendaknya memakai teori-teori melulu, tapi untuk mengerti seni lukis dibutuhkan pengalaman bertahun-tahun dan pengetahuan tentang “penseelvoering” (kecakapan teknis dan goresan pensil) disertai rasa asli yang halus.
(Sudjojono, Kami Tahu Kemana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa, 1948)


All artistic work, like all human activity, involves the joint activity of a number, often a large number of people. Through their cooperation, the art work we eventually see or hear comes to be and continues to be.
(H. S. Becker, Art Worlds, 1982)



Kegelisahan: Asahan Sikap
Berbincang dan menemani laku kreatif I Gede Oka Astawa (Oka) saat mempersiapkan pameran tunggalnya ini, saya mencoba untuk menyisir latar dan gagasan dari setiap ‘kecemasan’ yang seringkali menggelisahkan laju kreatifnya. Tajuk pameran “Menjawab Kegelisahan” dipilih sebagai kerangka ide untuk menjawab ragam tantangan. Yang muncul baik dari dalam dirinya sendiri ataupun tekanan yang sering kali datang dari lingkungannya. Entah picingan mata kawan sejalan, maupun nada remehan dari senior. Alih-alih melemahkan, kegelisahan itu membuatnya berapi. Ia berfikir keras untuk menunjukkan bahwa ia mampu. Dengan bertumpuknya tekanan, pemikirannya cenderung bertambah kritis. Motivasinya pun bertambah keras. Dua hal inilah yang saya catat dalam diri Oka.
Mengamati ‘kegelisahan’ Oka, saat berdiskusi tentang konsepsi, paradigma seni hingga kerja-kerja estetik-artistik yang dilakukannya, saya serasa dituntun untuk merenungkan kembali tentang persoalan sikap mental dan watak yang harus dimiliki setian insan seni dalam menjalani kesenian. Sejauh mana kita bersikap sebagai ‘seniman’ dan bagaimana kita menempuh jalan ‘kesenimanan’ itu. Hal ini tentu bukan sekedar persoalan definitif yang dapat dijelaskan secara harafiah, namun lebih pada visi ideologis yang nyata mewujud dalam kerja yang berkeringat.
Perbincangan tentang sikap mental dan proses penciptaan memang seringkali ‘usang’ dan bahkan oleh para pemikir seni rupa kita dianggap terlampau ansich. Sekedar romantik, manakala perbincangan seni rupa kini telah melesat pada ruang wacana dan politis. Meski terkadang perbincangan-perbincangan itu terlampau rumit untuk dipahami, lepas dari perkara seni itu sendiri, dan cenderung ngawur!. Dan sungguh, pameran Oka ini, akan ‘memaksa’ kita untuk melihat kembali persoalan mendasar ini. Ia mengajak kita menakar kembali entitas diri kita sebagai ‘calon seniman’. Bertanya, berfikir, merenung tentang apa itu seniman, kesenimanan, dan kesenian, sebagai wujud penghargaan dan junjungan  atas pilihan hidup kita sendiri.
Dalam sejarahnya, istilah ”seniman” pertama kali dilontarkan oleh  S Sudjojono (1913-1986). Istilah ini sudah mengemuka pada akhir 1930-an di dalam tulisan-tulisannya tentang seni lukis Indonesia. S. Sudjojono mengakui bahwa istilah ”seniman” ini pertama kali diusulkan oleh Ki Mangun Sarkoro—mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1949-1950). Kata ”seniman” ini, juga dimanfaatkan oleh S. Sudjojono untuk menggantikan istilah ’artist’, ’kunstler’, ’kunstenaar. Pada akhir 1940-an, bapak seni lukis Indonesia inilah yang kemudian menciptakan istilah ’pelukis’ sebagai pengganti kata ’schilder’. S. Sudjojono juga orang yang berhasil menasionalisasi istilah ’atelier’, ’workshop’ atau ’studio’ dengan kata ’sanggar’,  yang masih digunakan hingga sekarang.
Kemudian, berkaitan dengan karakter dan ciri khas  seorang seniman, S.Sudjojono menyatakan pandangannya tentang seniman dalam artikel “Menuju Corak Seni Lukis Baru Indonesia, Seni Lukis Indonesia Sekarang dan Yang Akan Datang”, di dalam buku  Kesenian, Seniman dan Masyarakat (1946), bahwa …dalam diri tiap-tiap orang seniman, pertama mesti berdasar pada watak seorang seniman. Dan seorang seniman mesti pula berani dalam segala-galanya terutama berani memberikan idenya kepada dunia, meskipun tidak mendapat tanggapan baik dari publik sekalipun.”

Ungkapan S.Sudjojono tersebut menyatakan bahwa, “sikap mental dan watak seniman”, harus menjadi hal utama dalam gerak laku kreatif para seniman.  Terlebih, tersyi’arkan dalam karya-karyanya.  Sikap mental yang harus terus diasah tersebut adalah watak kesenian, kunstenaarschap (kesenimanan) dan keberanian.  Dengan dua hal ini, mereka akan mempunyai jatidiri yang khas, identitas dan karakter yang melekat kuat,  yang pada akhirnya akan termanifestasi dalam wujud : kebenaran dan keindahan.
Lebih jauh ditegaskan S. Sudjojono bahwa keindahan yang bagus bukanlah menurut publik biasa, namun bagus dalam pengertian estetis bagi seorang seniman. Dalam ungkapan ini, ia menyandarkan akan arti pentingnya idealisme yang harus dipegang oleh seniman muda, dimulakan dari bagaimana seniman mengolah gagasan hingga tercipta sebuah bangunan artistik-estetis dalam kerja kreatifnya.
S.Sudjojono menyarankan kepada seniman muda untuk berkarya dengan menemukan jalan wataknya sendiri, menemukan sikap mentalnya sendiri. Proses watak adalah proses menemukan jiwa murni yang akhirnya melebur dalam karakter-karakter karya. Sebagaimana pernyataannya bahwa gambar yang tercipta adalah sebuah ungkapan pekerjaan proses jiwa dan bukanlah gambaran optische opnume (kerja optik) mata saja. Maka dalam recapan mata menuju ke perenungan hingga lahirlah sebuah gerak kuas adalah sebuah tuangan jiwa ketok, sebuah jiwa yang dinamai Sudjojono sebagai “kesenian”. Dan jiwa itulah wujud dari karakter dan watakmu!
Berpangkal dari sinilah kemudian seorang pelukis harus mempertajam ‘pembacaannya’ terhadap ‘realitasnya’. Terhadap realitas apapun, entah wacana artistik-estetik hingga persoalan strategi kesenian-kebudayaan (dalam jangkauan yang lebih luas tentunya). Berkarya dalam idealisasi yang terkendali, dengan pembacaan terhadap wacana yang kuat, berikut manajemen yang teraplikasi hingga lahirlah integrated professional artist yang mampu mengayunkan semangat jamannya (Zeitgeist)! Maka, sungguhlah mengesankan ungkapan Sudjojono berikut,
pelukis-pelukis baru ini tidak akan melukis gubuk yang tenang dan gunung yang kebiru-biruan atau melukis sudut-sudut yang romantic atau schilderachtige en zoetzappigge onderwerpen - (tema-tema yang sangat grafis dan manis -Belanda) saja, …namun ia akan melukis realitasnya, seni lukis yang berjiwa realita,…hingga lahirlah sebuah kesenian yang tinggi  yang berasal dari olah kehidupan sehari-hari seniman (idealismnya).”
Ungkapan ini layaknya sebuah nasihat (dan harapan tentunya), bahwa setiap seniman harus bersiteguh pada watak, dan peka atas realita yang ada di sekitarnya. Tidak terombang-ambing akan corak dan gagasan baru dari luar, wacana-wacana Barat yang menjadi fashion, paradigma yang mengawang tanpa isi. Setiap seniman berpihak atas idealismenya, tak goyah meski terus dirajuk.
Semakin tegas, diungkapkan oleh Sudjojono dalam sebuah artikelnya yang dimuat dalam majalah Revolusioner, dan diterbitkan lagi pada tahun 1948, yang berjudul Kami Tahu Kemana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa”. Dalam tulisan ini Sudjojono menyatakan bahwa :
Orang (pelukis) Indonesia  tidak mengekor atau mengkopi saja dari seni lukis Barat, akan tetapi kebenaran-kebenaran dari teori Da Vinci, Durer, Cezanne, dan lain-lain, dirasakan sebagai sebuah pengalaman (belevenis). Realisme bukan kepunyaan Barat Saja, begitupun orang Indonesia sampai pada Impresionisme, Ekspresionisme dan Surealisme oleh kekuatan jiwanya sendiri (!!), tidak karena adanya Kokoscha, Klee, Munch, Chagall, Utrillo dll. Jangan hendaknya memakai teori-teori melulu, tapi untuk mengerti seni lukis dibutuhkan pengalaman bertahun-tahun dan pengetahuan tentang “penseelvoering” (kecakapan teknis dan goresan pensil) disertai rasa asli yang halus.
Ungkapan di atas menunjukkan kepada kita agar memiliki daya kritis atas apa yang terjadi di luar kita, dan apa yang terjadi di dalam diri. Sikap kritis ini harus dibangun berdasarkan atas  kesadaran diri untuk terus belajar tanpa berpuas hati. Beriring dengan proses, kerja yang berkeringat, sikap untuk terus bertanya dan mencari paham.
Apa-apa yang diusung Oka dalam pameran “Menjawab Kegelisahan” ini adalah buah dari kumpulan-kumpulan pertanyaan yang menggelisahkannya. Tentang apa dan bagaimana mengolah sikap mental, bagaimana cara menjalani kesenimanan, dan bagaimana berkesenian itu. Ribuan definisi dan saran telah dibaca dan didengarnya. Kembali ke persoalan ideologis, dan merenungi setiap lini jalan proses kreatif, hal inilah yang hendak diceritakan.


Kegelisahan : Presentasi Proses
            Bagi setiap seniman, pameran adalah panggung. Tempat mereka bercerita, mengaktualisasikan diri, mempresentasikan gagasan, sekaligus  menakar diri, sejauh mana pencapaian estetik-artistiknya mampu menggugah apresiasi dan kritik publik. Berada dalam perspektif ini,  kami (saya dan Oka) bersepakat untuk menghadirkan proses kreatif sebagai dimensi yang ingin kami hadirkan kepada publik. Setiap karya yang ada, adalah dokumentasi atau catatan dari proses kreatifnya. Ibarat sebuah perjalanan, pameran ini lebih kami inisiasikan layaknya travel-notes, catatan dokumentasi dari perjalanan estetik-artistik seorang anak muda. Apa yang menjadi latar belakang keseniannya, latar belakang penciptaan karya, hingga visinya sebagai seniman. Kesemuanya kehendak ini termaktub dalam karya-karya dua dimensi, tiga dimensi, video dan instalasi. Berpijak dari gagasan dokumentatif ini, maka kami mencoba untuk menghadirkan ‘catatan’ proses kreatif Oka. Mulai dari bangku akademis hingga pengaruh-pengaruh yang muncul dari lingkungan sekitarnya.
Cita-cita Oka memang ingin menjadi seniman. Demikian yang dia tulis dan ceritakan kepada saya. Ia menyadari bahwa hal itu tidak mudah, maka, ia sandarkan mimpi itu pada bangku sekolah. Belajar skill dan pengetahuan tentang seni dimulai di bangku SMSR Negeri  Denpasar (SMKN 1 Sukowati). Berbaur dengan iklim berkesenian yang tinggi, aroma seni ulayati/tradisional yang masih kental, ia belajar. Memilih belajar di sekolah seni tentu bukan pilihan yang mudah. Alasan logis bahwa seni rupa bisa dipelajari di rumah, jelas sangat kurang baginya. Ia sadar betul, bahwa pemahaman intelektual hanya bisa didapat di bangku sekolah. Pendidikan sekolah akan memberikan nilai yang lebih dibandingkan belajar di luar secara otodidak. Bukan sekedar perkara praktek dan skill teknis, ia butuh pemahaman pengetahuan dan wacana yang lebih.
Bagi Oka, sekolah ibarat pintu untuk mengejar “mimpi menjadinya”.  Tak kepalang tanggung, memulai dari SMSR, ia indekost jauh dari orang tua. Di sana diperhatikan gemblengan para pensyarah/guru yang mengajarnya. Serasa belum usai perkara teknis dan urusan nilai, ia ingin menggelar pameran tugas-tugasnya di sekolah. Sikap yang berani. Bukan perkara ingin eksis di hadapan sekolah dan teman-temannya, namun  ia ingin mengukur seberapa jauh kualitas mental dan sikapnya. Kesemuanya dimulai atas kesadaran polos, bertanya tentang apa itu pameran, bagaimana membuat pameran, dan segi teknisnya. Dari titik ini, menurut pandangan saya, Oka mulai menjejakkan langkah pertama, dan mengukur mentalnya. Kehendak dan perjuangan akan keyakinannya untuk menjadi seniman di kemudian hari, strategi dan keyakinan akan jalan dan cara yang ia tempuh.
Selanjutnya, dengan bekal sikap dan keyakinan akan mimpi, Oka merajuk orang tua untuk diperkenankan menginjak Jawa, kuliah untuk jadi seniman. Meski dihalang, sebentar waktu, diijinkanlah dia merantau. Ketika saya ajukan pertanyaan, kenapa harus ke Jawa? Dia bilang, banyak contoh para seniman yang di Bali, pernah belajar di Yogya. Banyak dari mereka belajar di Yogyakarta, dan menjadi seniman. Hal inilah yang merajuknya untuk mengejar pendidikan formal yang lebih tinggi.
Bagi dunia seni rupa kita,  lembaga akademis memang menjadi sentral transfer of knowledge, sehingga perannya saat ini memang mendominasi perkembangan yang ada. Terlebih di Bali. Pada masa 1970-an, sebagaimana yang dicatat oleh Jean Coteau, ada babak baru ketika peran akademis masuk, terutama pada babak antara 1950-1990. Di sana muncul Nyoman Tusan (ITB lulus 1961), Nyoman Gunarsa (ASRI, lulus 1967), sampai munculnya Putu Sutawijaya (ISI Yogyakarta, lulus 1998), I Nyoman Masriadi (ISI Yogya, tidak selesai), senyatanya telah membawa aroma baru pada seni lukis Bali. Hingga kemudian hari, karya para perupa Bali mempunyai aroma lebih ‘alamiah’ dan modernis adalah kenyataan yang mengagumkan. Banyak perupa muda Bali yang mencatatkan kiprahnya dalam wacana seni rupa kontemporer Indonesia. Ditilik dari gagasan yang diusung, bahasa ungkap visual yang mereka hadirkan telah ’melampaui’ akar visual dari tradisi mereka. Akademis!
Di Fakultas Seni Rupa (FSR) ISI Yogyakarta, pandangan Oka berlabuh. Berbaur dengan segunung tugas kuliah, sketsa dan lukis perminggu, adalah kenikmatan tersendiri baginya. Nilai-nilai sebagai tolak ukur hasil belajar, pun didapatnya dengan gemilang. Beasiswa juga direngkuhnya. Tetapi, beragam hal yang dicapainya ini, serasa belum menjawab tuntutan hasrat idealismenya. Pameran lorong, pameran di lobi kampus, Galeri Katamsi,  karya-karya eksperimental yang dibuat di kampus, belumlah cukup. Seakan semua ekplorasi itu terbentur kata ”tugas” dan ”akademis”. Benar memang bahwa kesemua proses itu bisa dimaknai sebagai studi, namun bukan sekadar itu, lebih jauh, bahwa ada ’tantangan-tantangan’ yang mesti dijawab dan di hadirkannya di luar pagar Kampus Saraswati.  Saya melihat bahwa pameran ini bukan sekedar ajang eksistensi, namun lebih jauh, mengukur nyalinya! Seberapa berani ia menceritakan proses kreatifnya serta bertanggung jawab atas pilihan hidupnya.
Mencermati apa yang dipresentasikan Oka, saya melihat bahwa kesan studi tergurat kuat. Eksplorasi yang dilakukannya sangat luas dan liar. Ekspresinya seakan tertumpah semua. Apa yang tercerap dibangku kuliah, ia sikat (eksekusi) di rumah. Eksplorasi material ia lakukan dengan baik, pun demikian eksekusi tekniknya. Entah itu karya sketsa, lukisan, tiga dimensi dan karya instalasinya.
            Dalam karya-karya sketsa misalnya, Oka merekam moment sesaat yang hadir sebagai sebuah karya yang utuh.  Dia memaknai sketsanya sebagai karya yang tuntas dari pada sebuah subjek atau potret tertentu.  Semangat studi membawanya dalam keberanian untuk menjelajahi ruang-ruang ekspresinya melalui garis-garis spontan.

          

(Karya Tugas Sketsa I)

Bagi Oka, sketsa layaknya gambar rancangan awal atau notasi. Sebagai sebuah rekaman  akan berbagai situasi yang tertangkap oleh mata. Catatan atau sketsa ini umumnya memuat sekumpulan garis yang sekaligus gambaran sekilas yang akan dikerjakan dalam tempo cepat, acapkali atau bisa dilanjutkan sebagai sebuah praktek kerja selanjutnya. Mencermati sketsa-sketsa Oka, saya berpandangan bahwa ia membuat sketsa sebagai sebuah catatan ide, gagasan, latihan ataupun juga sebagai cara untuk mengekspresikan diri. Sketsa dimaknai berjangkit, sebagai sebuah “desain karya” untuk proses kerja berikutnya ataupun hadir sebagai sebuah karya yang berdiri sendiri. 
Ekspresi Oka terlihat cukup kuat dalam karya sketsanya, pun demikian dengan karya studi cat airnya. Membayangkan tugas kuliah seni lukis I dan II yang memaksa kita melukis on the spot di berbagai titik di kota Yogyakarta, tentu mengandalkan ekspresi dan ccerapan mata yang tepat dan cermat. Tugas lukis cat air ini, boleh di bilang, kelanjutan dan aplikasi dari tugas sketsa. Berbekal ragam kuas nomor 5, 7, 9, 11,  ember kecil tempat bilas kuas, lap dan setumpuk cat air merek Guitar, kita ditugas melukis objek-objek favorit. Dari kamar kosan, Keraton, Pasar Serangan, Pasar Ngasem, Tugu Ngejaman, Jembatan Kewek, Tugu Yogyakarta, Kantor Pos hingga Parang Tritis dan Kaliurang sebagai tugas akhir semester.  Kesemuanya adalah fase studi yang tidak sekedar mengasah skill, namun kepekaan akan kondisi riil yang ada di depan mata, ditangkap menjadi pilihan-pilihan objek yang menarik.  
Studi-studi ini dimaknai Oka sebagai latihan yang menarik dan mengasah mental. Hal ini dapat ditangkap dari ekspresi-ekspresi yang muncul dalam karya-karya cat airnya. Ekspresif dan momentik. Bukan sekedar landskap-landskap yang hening dengan objek asal yang dikarang.

   



(Karya Tugas Seni Lukis II)

Pada karya-karya mutakhir Oka yang dipresentasikan dalam pemeran ini, baik karya dua dimensi ataupun tiga dimensi adalah upaya-upaya eksperimentasi yang dilakukannya untuk menemukan corak artistik-estetik. Lelehan dan ceprotan, khas-khas gaya ”njlebret art”, ekspresionisme Bali era 90-an, dipelajari dan dipresentasikannya kembali.  Ragam karya dengan teknik kolase hadir dengan pertimbangan teknis akademis yang khas. Meski masih kuat terasa aroma studinya- karena memang sebagian karya yang dipamerkan adalah tugas kuliah- jelajah visual Oka terbukti tinggi. Ia masukkan objek tiga dimensi ke dalam kanvasnya, seperti baut, roll dan lelehan resin sebagai bahasa simbolik dan elemen artistik. Sebagaimana karya ”Terpenjara dalam Gerak”, 2011, ia sematkan baut pada kanvas yang berlukiskan tubuh lelaki. Seakan terpaku dan mengesankan rasa sakit, baut itu menjadi simbol penderitaan sekaligus menjadi elemen artistik yang lugas hadir.


Terpenjara dalam Gerak”, 170x170, mixed media on canvas, 2011,

Pun demikian dengan karya-karya tiga dimensi yang diciptakannya.  Eksplorasi visual dijelajahinya dalam mengolah elemen-elemen dan material. Dalam karya ”Cinta untuk Seni”, 2011 misalnya. Disusunnya melingkar 60 palet pencampur warna dalam beragam ukuran, yang kemudian diberinya warna. Dalam gradasi merah, sementara ditengahnya palet putih berukuran besar terlukis gambar hati, love. Jelas dari objek ataupun simbol yang disematkannya, palet, gambar love (hati), warna merah hati, inilah ungkapan kecintaan Oka akan dunia seni. 




”Cinta untuk Seni”, palet 61 pcs, dimensi variable, 2011

Dalam karya yang berjudul ”Penetrasi Cinta”, 2011, Oka menghadirkan eksplorasi visual yang menarik. Sebuah jalan berwarna merah muda, bermarka merah hati dengan tiang-tiang besi berpayungkan palet warna merah di tepinya, menjadi simbol mimpi tersendiri. Sementara duri-duri mengawang di atasnya, seakan hujan yang hendak turun di sepanjang jalan. Bagi Oka, karya ini melambangkan jalan kesenian yang akan ditempuhnya. Panjang dan penuh cinta. Andai ada hujan duri sekalipun, ia akan tetap berjalan. ’Jalan’ itu akan tetap dilaluinya. Ungkapan hati yang sungguh, penetrasi akan keyakinan yang teguh. Sungguh polos, lugas dan apa adanya. Tiada teori apapun yang melatari karya ini. Tulus dan begitu kata hatinya atas karya ini.


 
”Penetrasi Cinta”, dimensi variabel, mixed media, 2011,

            Gagasan dalam karya-karya Oka, sangat beragam. Mulai dari kepedulian alam, kecintaannya pada seni rupa, dan banyak lagi. Sebagaimana dalam karya-karya di bawah ini.

Hijau di Zaman Sekarang, akrilik on kanvas, 2010

Berikan Kesegaran, kayu, baut, tali, karpet, akrilik on kanvas, dimensi variable, 2010.
Eksplorasi Oka akan material dan pokok visual, senyatanya menjadi gambaran tersendiri bagi kita akan persoalan artistik-estetik yang harus terus dieksplorasi dengan sikap berani. Gagasan visual dan eksperimentasi harus terus dilakukan, dengan menjelajahi segenap kemungkinan-kemungkinan visual. Bukan perkara gagasan dan konsep saja, senyatanya kemungkinan teknis juga dipelajari dan difikirkan dengan matang. Sehingga karya mampu hadir dengan prima. Karena bagaimanapun perkembangan wacana seni rupa, aspek formal tetap menjadi nilai utama yang dijadikan pertimbangan pencapaian seorang seniman.
Integralitas : Kesadaran ekstra estetik
Kesadaran dan pemahaman Oka atas praktek-praktek pewacanaan seni rupa tumbuh dari sikap kritis dan ‘kepolosan’nya. Harus saya akui, ia memang seseorang yang mempunyai sifat ingin tahu yang besar. Apa itu seniman? Apa yang dibutuhkan untuk menjadi seniman? Kenapa seniman butuh pameran? Bagaimana cara berpameran yang baik? Dengan sekian pertanyaan ‘mendasar’ inilah yang menjadi spirit pameran ini berbeda. Kesadaran-kesadaran ekstra-estetik pun tumbuh dan terasah. Dari pengalaman dan pengamatannya sendiri. Serasa kurang, ia pun membaca banyak buku untuk mencari jawabannya. Kesadaran-kesadaran akan manajemen seni, dan organisasi even hingga persoalan wacana, ‘menghasutnya’ untuk merancang presentasi karya yang baik. Terlepas dari persoalan kekaryaannya, kesadaran-kesadaran di luar penciptaan tumbuh seiring hasratnya untuk menampilkan presentasi yang mampu mewakili ‘diri’nya secara jujur. Kesadaran-kesadaran aspek ekstra-estetik inilah yang kemudian coba untuk dipahami dan menjadi kerangka penting pameran ini.  
Persoalan pameran memang bukan perkara presentasi visual saja, perkara wacana menjadi bagian utama yang juga harus difikirkan. Dalam pameran ini, Oka memikirkan benar strategi presentasinya. Pertanyaan besar dan sekaligus menggelisahkannya, Bagaimana menjadi seniman? Bagaimana membuat sebuah pameran tunggal? Seakan dijawabnya dengan kerja teknis dan manajerial yang luar biasa. Dari awal pameran ini dirancang, proposal, kerja kolaborasi hingga siasat atas publik ia fikirkan dengan matang. Hal ini terlihat dari bagaimana ia membuat tim khusus yang berperan pada sistem manajemen, mulai dari kerja administrasi, komunikasi dengan tim-tim kolaborator, dokumentasi proses dari awal hingga akhir, dan banyak lagi.
Melihat gerak ‘organisatoris’ Oka, saya teringat dengan pandangan Howard S. Becker dalam bukunya Art Worlds (1982), pada pembahasan Integrated Profesional Artist. ‘Seniman profesional yang terintegrasi’ sejatinya mempunyai karakter dan kecakapan diri yang luar biasa. Ia harus mampu mengoptimalkan segenap potensi yang dimiliki, baik potensi ke dalam (diri sendiri) ataupun potensi keluar (berkaitan dengan orang lain).
Kecakapan teknik (technical ability), adalah kecakapan dasar yang harus dimiliki seniman. Hal ini berkaitan dengan teknis penciptaan karya, aspek artistik –estetik. Dimulai dari bagaimana menemukan ide, mengolah gagasan, kemudian mengeksekusinya dalam sebuah karya seni yang menuntut kerajinan tangan seniman, hingga mekanisme diseminasi atau penyebarluasan karya agar dapat diapresiasi dengan baik oleh publik. Sebagaimana pada diri Oka, ia melakukan eksplorasi atas beragam media, menjelajahi segenap kemungkinan material dan bahasa visual. Persoalan-persoalan teknispun dipecahkannya. Sebagaimana yang terlihat dalam karya-karya mix media. meski dalam beberapa hal masih belum begitu optimal tergarap, namun upaya –upaya yang dilakukannya telah mengarah pada proses kreatif yang menarik untuk dicatat.
Kemampuan konseptual (skill of conceptual) adalah poin berikutnya. Persoalan konseptual, meliputi idealisme, kecerdasan gagasan dan kejelian melihat fenomena dan kepekaan memahami nomena. Orientasi konseptual ini penting dalam membangun idealism berkarya dan berkesenian. Dengannya, terlahir karya-karya seni yang progresif, tidak konservatif, kaya akan wacana pemikiran, sarat dengan muatan estetik dan mampu menjiwai zamannya (zeitgeist). Baik dalam atmosphere lokalitas maupun jiwa sphere internasional. Gagasan-gagasan Oka, memang masih beragam. Namun, dengan daya kritis yang dimiliki, setiap gagasannya, baik gagasan visual maupun konseptual mempunyai banyak celah untuk diolah kembali dalam beragam kemungkinan visual. Tentu studi yang lebih lanjut akan menghantarkannya dalam pencapaian-pencapaian yang “lebih” ke depannya. Kemampuan konseptual akan terasah seiring dengan proses yang dilalui. Dan aspek dokumentasi serta pencatatan akan proses kreatif yang dilakukan, menjadi kunci untuk membuka kemungkinan-kemungkinan penciptaan yang baru.
Kecakapan sosial (social skill) harus dimiliki oleh para seniman muda, agar mereka mempunyai kepekaan sosial terhadap lingkungan dan fenomena di sekitarnya. Hal ini diupayakan agar karya-karya yang dihasilkan mempunyai daya gugah terhadap masyarakatnya. Senada dengan gagasan Sudjojono sebelumnya, seniman memang harus mampu mewakili realita di sekitarnya. Kecakapan sosial, dapat juga dimaknai sebagai sikap untuk terbuka dan sikap mampu bekerjasama dengan orang lain. Seniman, selalu identik dengan ego diri. Idealisme yang terlampau teguh dipegah, tanpa mau berkompromi dan bernegosiasi dengan lingkungan sekitarnya. Ada pula yang terlampau peduli dengan komunitasnya, dan acuh dengan organ lain di sekitarnya. Mencermati hal itu, maka dalam pameran ini Oka sengaja untuk melibatkan banyak komunitas untuk bekerja bersama dan kolaborasi mencipta karya. Ada komunitas grafis Tangan Reget, Komunitas Tempat Kencing, dan Komunitas Kriya Titik Lenyap. Upaya kolaborasi ini dimaksudkan untuk mencari kemungkinan baru dalam proses penciptaan karya. Hal ini menjadi menarik sebab, berbeda dengan kerja individu, kerja kolaborasi penuh dengan negosiasi. Upaya menarik yang ditawarkan Oka selain karya bersama adalah pendokumentasian proses kerja kolaborasi. Dengannya, kita bisa melihat bagaimana negosiasi-negosiasi gagasan bertemu dan bertumbuh, serta melihat metode dan mekanisme kerja kreatif yang menarik.
Kesadaran ‘sosial’ Oka, juga terlihat dari bagaimana ia ‘peduli’ akan publik. Ia membuat propaganda dan publikasi jauh-jauh hari sebelumnya. Semacam sosialisasi. Propaganda dilakukannya dengan membuat beragam media publikasi. Mulai dari sticker hingga hingga membuat grafity di beberapa titik di Yogyakarta.  Upaya-upaya yang dilakukan ini adalah wujud dari siasat dalam menjaring apresiasi publik yang lebih luas.
      
     
      
     
Materi propaganda-propaganda yang dilakukan
Kecakapan sosial (social skill), penting untuk di miliki setiap insan seni rupa. Sebab, dengan kecakapan ini, kita mampu mempresentasikan proses kreatif yang telah dijalani kepada publik seni rupa yang lebih luas, hingga tercipta sirkulasi intelektual (wacana dan estetika) di dalamnya. Bagaimana para seniman muda mampu memposisikan diri dalam jejaring sosial seni rupanya secara optimal, melakukan proses intermediasi dalam medan yang lebih komplek,  bersinergi membangun iklim kesenian yang kondusif dan progresif.
Epilog : Untuk Gambar Hati dan Warna-Warna Asmara
            Melihat dan mencermati kerja keras I Gede Oka Astawa, tiada kata terucap selain ungkapan bahwa sikap mental, watak kesenimanan yang terus di jaga, idealisme yang diperjuangkan dengan keberanian pastilah akan berbuah keindahan dan kebenaran. Kesemuanya akan tercermin dan terasa dalam karya-karya yang tercipta. Sebuah kesadaran yang harus terus di pegang adalah bahwa sekarang kita berada dalam ruang studi, dan seterusnya akan demikian. Rumah seni adalah rumah studi, bahkan hingga akhir hayat. Sebuah rumah yang akan membentuk karakter, watak dan spirit estetis. Sebuah wadah yang akan menantang nyali intelektualitas dan kemampuan praksisnya. Sebuah mesin ukur yang akan mengamati laju progresitasnya. Sebuah medan perang  idealisme.  Sebuah ruang membaca, ruang renung, ruang bekerja dan bekerja!
Sebuah ungkapan puitik S. Sudjojono agaknya adalah ungkapan yang paling tepat untuk menutup dan merangkum semua catatan ini.
Kalau masih ada darahmu sendiri di dadamu, yang membawa benih angan-angan dari Dewi Kesenianmu itu, mari tinggalkanlah dogma  ala turismu itu, putuskanlah rantai-rantai yang mengganggu kemerdekaan darahmu untuk memberi tempat, memelihara benih menjadi garuda yang besar dan bersayap kuat bisa membawamu ke langit yang biru melayang-layang melihat dan menghisap kebagusan dunia, bulan, bintang-bintang dan matahari, alam ciptaan Tuhan. Barangkali kamu terpaksa berkorban, terbakar kelak karena panas matahari, sakit dada karena tidak bisa bernafas atau lapar karena tidak makan, tetapi kematianmu tidak akan sia-sia.  Pergilah ke Dewi Kesenianmu, dan  ketuklah pintunya dengan berani sembari berkata “Dewi , saya datang”. Dan Sang Dewi tadi tidak akan sangsi dan dengan suka hatinya membuka pintu sendiri, mempersilahkanmu : Masuklah, Kekasih yang kucintai”
(Sudjojono)



*) Kurator adalah Alumni Mahasiswa  Seni Lukis FSR ISI Yogyakarta Angkatan 2004.

* blog masih dalam progres